Sabtu, 11 Juli 2009

MENYONGSONG BULAN RAMADHAN

Setiap kali menjelang Ramadhan, saya jadi teringat kisah para sahabat Rasulullah saw. Mereka selalu bergembira menyambut kedatangan bulan puasa itu. Kegembiraan terpancar di wajah dan ucapan-ucapan mereka. Dengan wajah berseri-seri mereka mengucapkan "Marhabanya Ramadhan. . . "

Kenapakah mereka demikian bergembira menyambut datangnya Ramadhan? Apakah yang bakal mereka temui dan mereka dapatkan selama berada dalam bulan tersebut?

Agaknya, kegembiraan itu disebabkan oleh pengetahuan mereka bahwa Ramadhan adalah bulan yang banyak membawa berkah dan manfaat buat kehidupan manusia. Manfaat dan berkah yang tidak pemah mereka dapatkan sepanjang tahun di luar Ramadhan. Karena itu, di akhir Ramadhan, biasanya para sahabat juga merasa sedih dan kehilangan karena bulan yang penuh manfaat dan berkah itu bakal segera. berlalu.

Setidak tidaknya ada 4 manfaat yang bisa diperoleh umat Islam lewat bulan Ramadhan. Yaitu, manfaat yang bersifat lahiriyah berupa kesehatan, dan ketajaman serta kejernihan berpikir. Manfaat batiniah yang bersifat meneguhkan keyakinan dan pengendalian diri dalam mengarungi kehidupan.

Manfaat sosial yang berfungsi membangun kembali sendi-sendi kehidupan sosial agar diperoleh format kehidupan kolektif yang adil dan sejahtera. Serta manfaat spiritual berkaitan dengan kedekatan kita kepada Allah Sang Pencipta, sebagai puncak dari tujuan hidup dan ibadah kita.

Semua manfaat itu bisa dirasakan langsung oleh orang-orang yang beribadah pada bulan Ramadhan, yang menjalaninya dengan faham dan sungguh-sungguh. Kuncinya adalah 'kefahaman dan kesungguhan' dalam menjalani puasa. Bukan sekadar ikut ikutan, sehingga cuma mendapat lapar dan dahaga saja ...

1. Mesin Proses yang Hebat
Bulan Ramadhan adalan bulan yang luar biasa. Saya menyebutnya sebagai 'mesin proses yang hebat'. Kenapa demikian? Coba bayangkan, hanya dalam waktu satu bulan, seseorang bisa berubah dari tingkatan beriman menjadi tingkatan bertakwa. Begitulah jaminan Allah di dalam firmanNya.
QS. Al Baqarah (2) :183.
“Wahai orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang yang terdahulu mudah nudahan kamu bertakwa.”

Ayat ini menggambarkan secara jelas, bahwa puasa bisa menjadikan seseorang dari tingkat iman berubah menjadi tingkatan takwa hanya dalam sebulan. Memang di situ ada kata-kata. "mudah mudahan" bertakwa. Artinya tidak semua orang yang berpuasa Ramadhan bakal menjadi orang yang bertakwa. Ada peluang untuk tidak berhasil. Namun, semangat ayat itu adalah mendorong agar kita menjadi orang yang bertakwa lewat proses berpuasa.

Mana ada suatu program pelatihan sehebat apa pun yang memberikan jaminan bahwa hanya dalam waktu 1 bulan bisa merubah kualitas kepribadian dari sekadar 'faham dan yakin' (iman) menjadi 'terkendali' (takwa)? Hanya puasa Ramadhan saja yang bisa diharapkan merubah seseorang sebagaimana ayat tersebut di atas. Kalau diibaratkan sebagai sebuah mesin, maka bulan Ramadhan benar-benar sebuah mesin proses yang hebat.

Kenapa Ramadhan bisa memberikan perubahan sehebat itu? Karena puasa. menggarap hal-hal yang sangat mendasar dari keimanan seseorang. Keimanan bertumpu pada keyakinan. Keyakinan bertumpu pada kefahaman. Dan kefahaman bertumpu pada proses-proses keilmuan alias pembelajaran (iqra).

Orang yang sudah memiliki keyakinan semacam itulah yang menjadi 'bahan baku' mesin puasa. Dengan bertumpu pada keyakinan yang kuat, maka proses peningkatan kualitas itu akan bisa berjalan dengan akselerasi yang luar biasa.

Maka, tingkatan proses yang berlangsung adalah sebagai berikut:
1 Pada tingkatan yang paling dasar Allah memancing kita untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam ibadah puasa. Hal itu dikemukakan Allah berikut ini.
QS. Al Baqarah : 184
“... Dan berpuasa adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”

2 Kefahaman atas makna puasa itu diproses untuk menjadi keyakinan alias keimanan.
QS. At Thalaq (65): 10.
“Allah manyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu) orang orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu”

3. Keyakinan alias keimanan itu lantas dipoles menjadi keikhlasan dalam menjalankan ibadah puasa.
QS. Al Baqarah (2) : 184.
“Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan krbajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya.”

4. Dalam proses amalannya (saat menjalankan puasa), keikhlasan tersebut mesti digabungkan dengan sabar dan tawakal.
QS. Al Hajj (22) : 35
“(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhariap apa yang menimpa mereka orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka

5. Campuran antara keikhlasan, kesabaran dan tawakal akan menghasilkan kualitas berserah diri kepada Allah.
QS. An Nisaa'(4):125
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mangambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”

6. Penyerahan diri kepada Allah itu bakal menghasilkan mekanisme kontrol yang sangat hebat dalam diri seseorang. Itulah yang disebut sebagai Takwa. Dimana kita telah membahas efek takwa bagi kehidupan seseorang di bagian sebelum ini.


2. Proses 3 Tahap
Untuk merubah kualitas seseorang dari Iman menjadi Takwa dibutuhkan 3 tahap. Masing-masing sekitar 10 hari. Rasulullah mengatakan bahwa puasa Ramadhan selama sebulan itu dibagi menjadi 3 tahap. Yaitu, sepuluh hari pertama berisi Rahmat. Sepuluh hari kedua berisi Ampunan alias Maghfirah. Dan sepuluh hari terakhir berisi dengan Nikmat.

Dalam konteks 'penyembuhan' yang kita bahas di depan, 3 tahap proses ini menemukan kesamaannya. Yaitu, proses detoksifikasi alias penggelontoran racun, proses rejuvenasi atau peremajaan, dan proses stabilisasi atau pemantapan kondisi. Hal ini bisa bermakna lahriah maupun batiniah sekaligus.

Secara lahiriah, tiga tahapan dalam puasa Ramadhan itu menggambarkan terjadinya proses penyeimbangan kondisi kesehatan tubuh seseorang. Saya pernah mengadakan pengamatan sederhana terhariap sejumlah kawan-kawan yang berpuasa pada bulan Ramadhan tahun lalu.

Sebelum memasuki puasa Ramadhan, kami beberapa orang termasuk saya melakukan check kesehatan di laboratorium untuk mengukur kadar asam urat, kolesterol, gula darah dan SGOT/ SGPT Kami ingin membandingkan kondisinya dengan setelah melakukan puasa.

Maka yang terjadi sungguh menarik untuk dicermati. Dan saya ingin melakukan pendalaman lebih lanjut tentang efek puasa Ramadhan terhariap kondisi kesehatan seseorang.

Namun secara umum, tiga tahapan puasa di atas memang terjadi. Dalam pengamatan itu, saya menemukan kesimpulan bahwa 10 hari pertama, kondisi kesehatan kami mengalami proses detoksifikasi alias penggelontoran racun besar besaran. Prosesnya memang bisa berbeda beda pada setiap orang. Namun secara umum terjadi penurunan kadar kolesterol, asam urat, gula darah dan SGOT/ SGPT secara dramatis.

Misalnya, di antara kami ada yang sebelum puasa itu memiliki kadar kolesterol sangat tinggi. Kadar kolesterol total 245 (normalnya di bawah 200 mg/dl), HDL cuma 42 (normalnya di atas 55 mg/dl), LDL mencapai kadar 'tak terhitung' (normalnya lebih kecil dari 150 mg/ dl), dan TG sebesar 513 (normalnya 30 150 mg/dl).

Setelah berpuasa selama 10 hari pertama, kami melakukan cek ulang ke lab. Hasilnya sungguh menarik. Kolesterol totalnya turun menjadi 216. HDL yang terlalu rendah meningkat menjadi 55. LDL yang terlalu tinggi (tidak terhitung) menjadi normal kembali sebesar 111. Dan Trigliserida yang 513 turun menjadi 249.

Proses detoksifikasi yang terjadi selama puasa 10 hari pertama itu ternyata sangat signifikan. Padahal, biasanya dalam kondisi tidak puasa, penurunan sebesar itu dilakukan dalam waktu 4 minggu menggunakan obat-obatan penurun kadar kolesterol. Itu pun harganya tergolong tidak murah. Lewat puasa, bisa dilakukan hanya dalam waktu 10 hari tanpa menggunakan obat sama sekali.

Badan melakukan fungsinya untuk melakukan penyeimbangan secara alamiah dengan sangat efektif pada saat kita berpuasa. Yang terlalu tinggi diturunkan. Dan yang terlalu rendah ditinggikan, secara otomatis.

Saat proses detoksifikasi itu biasanya kita merasakan kondisi yang kurang mengenakkan badan. Ada yang merasa lemas. Ada juga yang merasa. Pusing-pusing dan demam ringan. Atau, kadang dibarengi dengan diare ringan serta air kencing yang keruh. Semua itu normal saja, karena sedang terjadi penggelontoran racun secara besar-besaran dalam tubuh kita. Gejala-gejala itu biasanya hilang dalam waktu beberapa hari, setelah badan kita beradaptasi.

Pada 10 hari kedua, proses penggelontoran itu terus berlanjut. Tapi dengan kecepatan yang lebih rendah. Penggelontoran besar besaran hanya terjadi pada 10 hari pertama. Dan bersamaan dengan detoksifikasi berkecepatan rendah itu, mulai terjadi peremajaan pada bagian-bagian yang mengalami kerusakan. Sistem tubuh mulai mengarah pada keseimbangannya.

Cek laboratorium menunjukkan kecepatan penurunan semakin melambat. Pada hari ke 21, hasil lab memperlihatkan semua kadar kolesterol berangsur-angsur normal. Kolesterol total mencapai angka cukup ideal 182 mg/dl. Sedangkan HDL konstan pada 55 mg/dl. LDL semakin rendah mencapai 96 mg/dI. Dan Trigliserida menjadi 148 mg/dl.

Selain kolesterol, ternyata asam urat juga mengalami penyeimbangan kembali. Sebelum puasa, kadamya 7,7 (normalnya di bawah 7 untuk laki laki). Ternyata dalam 10 hari pertama pada orang yang sama asam uratnya turun menjadi 6,6. Dan pada hari ke 21 asam urat turun lagi menjadi 6,2.

Pada 10 hari terakhir, kondisinya menuju pada keadaan seimbang. Ada penurunan namun semakin rendah kecepatannya. Yang menarik, ternyata berat badan juga mengalami proses yang seirama.

Pada 10 hari pertama, berat badan mengalami penurunan cukup besar. Diperoleh data, bahwa sebelum puasa berat badan mencapai 70 kg. Ternyata, di hari ke 11 berat badannya turun sebanyak 3 kg menjadi 67 kg.

Pada hari ke 21, terukur berat badannya terus mengalami penurunan meskipun tidak sebesar periode pertama. la mengalami penurunan sekitar 1,5 kg menjadi 65,5 kg. Dan yang menarik, penurunan berat badan itu tidak berlangsung pada periode ketiga. Saat hari terakhir puasa, berat badannya justru naik kembali menjadi 66,5 kg. Sebuah berat badan ideal, karena ia memiliki postur dengan tinggi badan 169 cm.

Ternyata benar ungkapan Rasulullah saw bahwa dalam bulan Ramadhan itu kita bakal mengalami 3 tahap proses menuju keseimbangan kondisi secara alamiah. Tahap pertama rahmat, karena Allah membersihkan badan kita dari racun-racun yang membahayakan kesehatan lewat proses detoksifikasi.

Tahap yang kedua adalah maghfirah atau ampunan. Dalam 10 hari kedua itu Allah benar-benar memberikan ampunan kepada hambaNya yang berpuasa dengan mengembalikan kondisi badan yang tadinya mengandung banyak sampah metabolisme menjadi bersih. Dan kemudian meremajakan kembali bagian-bagian yang rusak.

Dan pada tahap ketiga, Allah menurunkan nikmatnya kepada orang-orang yang berpuasa dengan baik. Di tahap ketiga itu, badan kita berangsur-angsur menuju keseimbangan alamiahnya. Bahkan, berat badan yang tadinya mengalami penurunan, di tahap ini justru mengalami kenaikannya kembali untuk menuju kondisi normalnya. Maha benar Allah dengan segala firmanNya, sebagaimana disampaikan oleh RasulNya ...

Selain berdampak secara lahiriah, tahapan puasa dalam bulan Ramadhan itu juga tampak dalam aktivitas yang bersifat batiniah. Pada skala batiniah, tahapan puasa memberikan motivasi yang besar kepada orang-orang yang sedang menjalankan puasa.

Tahapan itu ada kaitannya dengan sabda nabi “barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan Iman dan penuh perhitungan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu maupun yang akan datang.”

Sabda nabi ini mengarahkan kita agar tidak sembarangan dalam berpuasa. Ada dua hal yang dipersyaratkan, imanan dan wahtisaban. Yaitu 'memahami' dan 'selalu mengevaluasi pelaksanaannya'.

Nah, berkaitan dengan itu, kita mengevaluasinya dalam 3 tahapan, masing-masing 10 hari. Sebab efek puasa memang tidak langsung dirasakan hari itu juga, melainkan butuh tenggang waktu untuk mengukur dampaknya. Sebagaimana yang terlihat secara lahiriah, kurun waktu 10 hari itu juga telah memperlihatkan dampaknya.

Pada sepuluh hari pertama, sebagaimana dampak lahiriyahnya, puasa kita akan menggelontor berbagai macam penyakit hati. Apakah penyakit hati yang bakal tergelontor? Banyak. Di antaranya adalah suka berbohong, sering menipu, pemarah, pembenci, sulit memaafkan, serakah, sombong, riya', dan lain sebagainya.

Pada kondisi ini jika kita bisa 'menghancurkan' penyakit penyakit batiniah itu, maka dampaknya sungguh akan baik buat kebersihan dan kelembutan hati. Bahwa hati yang berpenyakit akan mendorong kualitas hati itu menjadi semakin jelek dengan cara mengeras, membatu, tertutup dan dikunci mati oleh Allah.

Maka, dengan puasa, sebenarnya kita sedang memproses hati kita agar semakin melembut. Caranya, begitulah, pada tahap pertama mesti bisa melenyapkan berbagai macam penyakit hati. Usahakan agar selama 10 hari pertama itu kita tidak 'mengamalkan' penyakit hati sama sekali. Puasa batiniah!

Jangan marah. Jangan berbohong. Jangan membenci. Jangan menipu. Jangan iri dan dengki. Jangan sombong. Jangan berkata yang tidak berguna. Bahkan, untuk 'berpikir' jelek pun jangan! Dan seterusnya.

Kendalikan sifat-sifat ini dengan kefahaman bahwa ini memang sifat yang merugikan siapa saja. Dan kemudian evaluasi terus, bahwa dari ke hari kemampuan kita mengendalikannya adalah semakin besar. Maka kalau kita bisa mengendalikannya selama 10 hari pertama, insya Allah kita bakal menerima rahmatNya, berupa, kondisi batiniah yang melembut.

Tiba-tiba saja kita begitu mudahnya untuk tidak marah. Begitu mudahnya untuk tidak berbohong. Begitu mudahnya untuk tidak dengki, iri dan sombong. Serta berbagai macam penyakit hati yang dilarang oleh Allah dan RasulNya. Ya, kita telah ketularan RahmatNya rasa mengasihi dan menyayangi orang lain dan siapapun di sekitar kita dengan sepenuh keikhlasan. Itulah 10 hari pertama dimana Allah menurunkan Rahmat bagi orang-orang yang baik puasanya.

Sepuluh hari ke 2 adalah ketika Allah menurunkan ampunanNya kepada hamba-hamba yang berpuasa. Ketika seseorang bisa mengendalikan dirinya untuk tidak berbuat jelek, tidak berkata buruk, dan tidak berpikiran jahat, maka sungguh ia telah memperoleh ampunan Allah.

Bahkan, ampunan itu bukan hanya sekarang saja, melainkan juga 'dosa-dosanya' di masa datang. Karena, sesungguhnya dia tidak akan berbuat dosa lagi lewat pikiran, ucapan, dan perbuatannya. la telah menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya.

Sepuluh hari yang ke 3, adalah saat-saat Allah mengkaruniakan Nikmat. Ya, betapa nikmatnya orang-orang yang telah mampu mengendalikan diri dengan baik. Selama 20 hari pertama dia telah mampu melatih dan membiasakan dirinya untuk tidak melakukan dosa-dosa yang membuat hatinya jadi 'keruh' dan mengeras.

Maka di sepuluh hari terakhir dia akan memetik kenikmatan. Apakah kenikmatan? Selama ini orang berpikir bahwa kenikmatan adalah terlaksananya segala keinginan yang menjadi cita-citanya. Padahal, definisi itu sangatlah rapuh. Mana mungkin ada orang yang terpuaskan atas keinginan-keinginannya. Apalagi, jika ia sangat menggebu-gebu dalam mencapai keinginannya.

Dia bagaikan mengejar fatamorgana. Seperti indah ketika masih jauh, tapi begitu didekati ternyata tidak seperti yang dia bayangkan. Begitulah manusia dalam mengejar kenikmatan. Ternyata, kebanyakan nikmat yang kita kejar adalah semu belaka.

Maka Allah mengajarkan kepada kita tentang kenikmatan itu. Bahwa kenikmatan yang sesungguhnya hanya bisa didapatkan lewat keimanan, sebagaimana Dia firmankan berikut ini.
QS. Ash Shaffat (37) : 148
“Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.”

Apakah keimanan? Sekali lagi, keimanan adalah kefahaman yang mengarah kepada keyakinan. Dan lebih khusus lagi, keyakinan itu terkait dengan kefahaman tentang Allah dengan segala sunnatullahNya.

Kenikmatan hakiki adalah kenikmatan yang diperoleh lewat kefahaman. Bukan karena emosi alias hawa nafsu belaka. Kenikmatan yang didasarkan pada hawa nafsu secara emosional adalah kenikmatan yang semu. Bahkan, memiliki potensi untuk merusak sebagaimana telah kita bahas sebelumnya: "kalau hawa nafsu di jadikan ukuran kebenaran maka rusaklah langit dan bumi dan segala isinya."

Maka, jika kita ingin memperoleh nikmat yang hakiki kita mesti memperolehnya secara iman lewat pendekatan akal. Bahwa kenikmatan adalah sebentuk manfaat yang terkait dengan kemampuan kita mengendalikan diri karena Allah semata.

Dalam kaitannya dengan puasa ini, maka di tahap 10 hari ke tiga itu, seseorang yang berpuasa, memang mulai bisa 'menundukkan' hawa nafsunya. Akalnya berfungsi lebih dominan dibandingkan kehendak emosionalnya. Dan lebih dari itu semua, ia melakukannya karena Allah semata.

Inilah kunci kenikmatan yang dijanjikan Allah kepada hamba hamba yang berpuasa pada etape 10 hari ke tiga. Setelah melewati masa 'penggelontoran' penyakit hati, dan masa 'pengampunan' dosa-dosa, maka orang yang berpuasa bakal merasakan betapa nikmatnya menjalani ibadah itu di akhir akhir Ramadhan.

la telah menemukan keseimbangan antara lahir dan batinnya. Antara fisik dan jiwanya. Maka, pada sepuluh hari terakhir itu seseorang yang berpuasa masuk ke tahapan spiritual. la sedang berproses untuk 'bertemu' Allah di dalam ibadah puasanya yang semakin intens.

Di sepuluh hari terakhir itu biasanya Rasulullah saw meningkatkan ibadahnya lebih hebat baik secara kualitas maupun kuantitas. Beliau biasanya masuk ke masjid untuk melakukan Itikaf, berkonsentrasi sepenuhnya dalam ibadah-ibadah yang semakin banyak dan khusyu untuk mencapai 'puncak' efek puasa. Inilah saat-saat terakhir yang sangat menentukan berhasil tidaknya puasa Ramadhan kita menjadi orang yang bertakwa.

Di sepuluh hari terakhir itu juga Allah menyediakan malam yang penuh barokah yaitu Lailat al Qadar. Yaitu malam yang digambarkan memiliki nilai sangat tinggi, lebih hebat dari 1000 bulan. Lebih jauh akan kita bahas di bagian berikutnya.

Sungguh, orang-orang yang bisa menjalani puasanya di sepuluh hari terakhir dengan baik, ia bakal menemui Lailat al Qadar yang penuh kenikmatan. Bukan hanya pada saat puasa Ramadhan, melainkan ia akan memperoleh pencerahan sepanjang hidupnya sehingga menjadi orang yang bertakwa orang yang dijamin Allah dengan berbagai kenikmatan ...

3. Bertemu Lailat al Qadar
Apakah yang disebut Lailat al Qadar itu? Informasinya disampaikan oleh Allah kepada kita lewat firmanNya berikut ini.
QS. Al Qadr: 1 - 5
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jbril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam Itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”

Allah mengatakan dalam firmanNya bahwa malam al Qadar itu adalah malam yang memiliki nilai lebih baik dari 1000 bulan. Betapa hebatnya. Bagaimanakah hal itu bisa dijelaskan? Kapankah turunnya malam itu? Dan bagaimanakah keadaannya?

Banyak tafsir yang menggambarkan turunnya malam al Qadar. Namun secara mendasar, kita bisa bertumpu pada ayat-ayat tersebut di atas.

Waktu turunnya al Our'an.
Di permulaan surat itu, Allah menjelaskan bahwa malam kemuliaan sebenamya adalah malam diturunkannya al Qur'an. Hal itu telah lama terjadi, yaitu sekitar 14 abad yang lalu. Ada yang berpendapat bahwa itu adalah saat-saat pertama kali turunnya al Qur'an. Yaitu ketika Rasulullah saw memperoleh wahyu untuk pertama kalinya digua Hira'. Dan setelah itu Al Quran diwahyukan secara berangsur angsur.

Namun, ada juga yang memiliki persepsi bahwa itu adalah saat saat turunnya al Quran secara keseluruhan ke muka bumi, sebelum diturunkannya secara berangsur angsur selama, 23 tahun. Hanya saja, persepsi ini kurang memperoleh pijakan dalam sejarah, karena wahyu Qur'an memang diturunkan tidak sekaligus, melainkan secara bertahap.

Yang ketiga, ada yang mempersepsi bahwa saat turunnya al Qur'an itu bisa kapan saja, kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Yang dimaksudkan disini bukanlah redaksi Al Qur'anNya, melainkan makna yang terkandung di dalamnya. Redaksi al Qur'an sudah turun sejak Rasulullah saw menerima wahyu, namun hikmah dan makna yang terkandung di dalamnya terus-menerus turun kepada orang-orang yang mengambil pelajaran dari Quran itu, sepanjang masa.

Dalam hal ini, Quraish Shihab memiliki penafsiran yang menarik bahwa ayat pertama surat al Qadr itu sebenarnya memiliki makna yang bersifat lampau alias masa lalu. Ini, katanya, terlihat dari tata bahasa yang digunakan:'Kami telah menurunkannya (anzalnaahu).

Kata ‘telah menurunkannya’ berarti telah terjadi dan tidak akan terjadi lagi di masa depan. Karena itu, malam kemuliaan al Qadar itu sebenamya sudah terjadi di jaman Rasulullah saw, yaitu saat diturunkannya wahyu al Qur'an untuk pertama kalinya.

Namun demikian, ketika Allah menjelaskan tentang turunnya malaikat ke Bumi, Dia menggunakan struktur bahasa yang berlaku untuk masa lalu dan masa depan : tanazzalul malaaikatu (turun para malaikat...'). Hal ini, kata Quraish Shihab, menunjukkan bahwa para malaikat tetap turun di hari-hari terakhir setiap bulan Ramadhan, untuk menemui hamba-hamba Allah yang berpuasa secara baik. Kenapa dikaitkan dengan Ramadhan? Karena di ayat lain Allah mengatakan bahwa al Quran memang turun di bulan Ramadhan.
QS. Al Baqarah: 185
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil) Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah la berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada harihari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Dalam makna yang tersirat, penulis menangkap kesan bahwa makna (isi) Al Quran diturunkan oleh Allah lewat malaikat Jibril yang diiringi para malaikat lainnya kepada orang-orang yang berpuasa. Bukan yang sembarangan dalam berpuasanya, melainkan orang-orang yang meningkatkan terus kualitas berpuasanya secara bertahap di etape 1, etape 2 dan etape 3. Al Qur'an adalah petunjuk bagi manusia. Tapi, tidak semua orang bisa memperoleh pelajaran dan hikmah dari padanya, kecuali orang-orang yang beriman dan membersihkan hatinya. Disinilah konteksnya, bahwa orang yang berpuasa di 10 hari terakhir bisa bertemu
dengan Lailatul Qodar saat-saat turunnya al Qur'an.

Coba lihat sejarah Rasulullah saw pada saat mau menerima wahyu pertama di Gua Hira'. Beliau banyak 'berpuasa' dan melakukan tafakur untuk membersihkan hatinya. Demikian pula, setelah menerima wahyu pertama itu (QS. Al'Alaq: 1-5), Rasulullah masih juga diperintahkan oleh Allah untuk bangun malam, banyak membaca al Quran untuk membersihkan hatinya. Kenapa demikian? Karena kata Allah, beliau bakal menerima wahyu-wahyu berikutnya berupa kalimat kalimat yang'berat'.
QS. Muzzammil : 1-6
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kocuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.

Ayat-ayat di alas adalah wahyu yang diturunkan Allah di urutan kedua sesudah QS Al'Alaq: 1-5. Dan menariknya, di situ Allah memerintahkan nabi agar memperbanyak bangun malam, agar lebih siap untuk menerima wahyu-wahyu berikutnya.

Dengan kata lain, agar bisa menerima wahyu secara lebih baik, beliau dianjurkan untuk membersihkan hati beliau dengan banyak membaca Qur'an pada malam hari di waktu sahur.

Saat-saat seperti itulah yang diisyaratkan oleh malam al Qadar. Orang-orang yang memperbanyak ibadahnya di waktu malam sampai menjelang fajar, bakal memiliki peluang sangat besar untuk bertemu dengan para malaikat yang 'menaburkan' makna al Quran ke hati mereka sebagai sebuah hikmah yang tiada ternilai tingginya.

Orang-orang yang menerima hikmah Qur'an pada saat Lailat al Qadar sungguh bagaikan memperoleh kebajikan yang lebih tinggi dari 1000 bulan ... !

4. Kembali ke Fitrah
Mereka yang berpuasa dengan baik selama bulan Ramadhan, bakal menemukan fitrahnya kembali. Apakah fitrah kita? Adalah makhluk berakal yang berdimensi individual, sosial, dan spiritual sekaligus.

Hal ini tergambarkan dalam hari raya 'Idul Fitri' sebagai manifestasi 'kemenangan' kita menundukkan hawa nafsu. Harapannya, akal kita berhasil menundukkan hawa nafsu. Maka yang muncul adalah kejernihan hati. Bersih dari berbagai macam penyakit lahiriah maupun batiniah. Semestinya, orang yang berhasil puasanya tampil mempesona sebagai manusia yang 'fitri' di hari yang Fitri.

Dan bukan hanya pada hari itu saja mereka bakal tampil mempesona, tetapi sepanjang tahun ke depan. Karena bulan Ramadhan adalah 'sekadar' pijakan untuk melangkah ke depan. la bukan tujuan, melainkan sebuah cara untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia.

Ramadhan adalah training centre bagi orang yang ingin memiliki kemampuan mengendalikan diri (bertakwa). Jika lulus, maka kita telah memiliki modal yang besar untuk 'bertempur' sepanjang tahun melawan hawa nafsu yang terus-menerus mengintai kita.

Mesti kita ingat bahwa tujuan terakhir proses beragama kita bukanlah bertakwa, melainkan berserah diri

(QS. Ali Imran :102). Bertakwa adalah tingkatan kedua setelah beriman. Bertakwa adalah kemampuan alias skill yang bisa menghantarkan kita kepada kondisi berserah diri kepada Allah. Skill itu telah kita dapatkan di dalam training centre, selama bulan Ramadhan.

Karena itu yang lebih penting, adalah waktu-waktu sepanjang tahun sesudah Ramadhan. Di situlah pertempuran yang sesungguhnya bakal terjadi. Bukan pada saat Ramadhan. Kenapa demikian? Sebab, selama Ramadhan itu sebenamya kita terlalu banyak memperoleh fasilitas dari Allah dan orang-orang di sekitar kita. Sehingga, pantas saja kalau kita berhasil mengalahkan hawa nafsu kita.

Setidak tidaknya ada 3 macam bantuan yang kita terima selama Ramadhan, sehingga bisa menundukkan hawa nafsu. Yang pertama adalah bantuan dari Allah, berupa tatacara puasa. Dengan cara berpuasa itu, Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk melawan hawa nafsu. Coba bandingkan dengan saat-saat tidak berpuasa, pasti lebih sulit untuk mengendalikan diri sendiri.

Jadi, memang puasa kita itu adalah sebuah cara berlatih untuk mengendalikan diri sendiri. Lapar dan haus itu selalu megingatkan kita, bahwa kita sedang berpuasa. Apalagi, Allah juga mengajarkan kepada kita agar memperbanyak ibadah lainnya seperti shalat, baca Quran, dzikir, dan lain sebagainya.

Maka, sungguh semua itu memberikan kekuatan yang besar kepada kita untuk selalu berusaha mengendalikan diri. Bisakah kita melakukan semua itu di luar bulan Ramadhan?

Fasilitas kedua kita dapatkan dari pemerintah. Biasanya, selama bulan Ramadhan, pemerintah melarang berbagai kegiatan yang berbau maksiat. Bahkan sampai, rumah makan dan tempat-tempat hiburan pun dilarang buka secara menyolok. Tentu saja ini memberikan suasana yang lebih 'kondusif' buat orang-orang yang berpuasa.

Padahal semestinya tidaklah demikian. Kalau selama bulan Ramadhan kita 'diisolasi' seperti itu, berarti kita tidak sedang berlatih dalam suasana yang sesungguhnya. Terlalu banyak proteksi. Hasilnya akan menjadi kurang baik.

Fasilitas yang ketiga, dari media massa. Baik media cetak maupun media elektronik. Selama bulan Ramadhan itu mereka menayangkan acara-acara yang berbau islami dan menghindari hal-hal yang seronok. Jadi kita bisa membayangkan betapa seluruh situasi dan kondisi telah 'dibuat sedemikian rupa' sehingga mengenakkan orang orang yang sedang berpuasa. Maka pantas saja kalau kita menang melawan hawa nafsu kita.

Tapi apakah kita bisa menang melawan hawa nafsu kita di luar bulan Ramadhan? Belum tentu. Kenapa? Karena situasi dan kondisi di atas tidak ada lagi. warung, restoran, tempat hiburan dan berbagai kegiatan maksiat telah 'hidup' kembali. Setan-setan yang tadinya dibelenggu kini berkeliaran lagi, bahkan jauh lebih liar. Maka, sungguh tidak mudah untuk mempertahankan ketakwaan kita di luar bulan suci Ramadhan. Padahal itulah 'arena' yang sesungguhnya.

Karena itu kadang-kadang saya merasa ironis ketika mendengar ucapan bernada 'bangga' bahwa pada 1 syawal itu kita telah menang melawan setan dan hawa nafsu. Ya, banyak di antara kita mempersepsi hari raya Idul Fitri adalah sebagai 'Hari Kemenangan' setelah sebulan penuh mengendalikan hawa nafsu. Benarkah kita telah menang?

Jangan-jangan kemenangan itu hanya semu belaka. Jangan jangan kita mengatakan menang di tanggal 1 syawal, namun sudah kalah di tanggal 3 syawal, karena telah melakukan kembali hal-hal yang dilarang agama. Kita mulai berbohong kembali. Kita mulai mengumbar rasa iri dan dengki. Mulai menebar ketidak adilan kepada sesama, serta menyakiti orang-orang di sekitar kita. Ah, betapa ironisnya kita. Dan betapa 'lucunya'...!

Maka, sungguh Idul Fitri bukanlah hari kemenangan. Tapi itulah saat-saat dimulainya kembali perjuangan tiada henti. Berjuang untuk meningkatkan kualitas kita, dari 'takwa' menjadi 'berserah diri' kepada Allah. Sebagaimana Allah berfirman di QS. 3: 102, bahwa jangan sampai kita kedahuluan mati, sebelum bisa berserah diri kepada Allah. sepenuh penuhnya...


PERTAHANKAN HASIL PUASA

Setelah Ramadhan berlalu, bagaimanakah kita mesti menjaga 'hasil' puasa kita. Cara yang paling 'dekat' adalah dengan tetap berpuasa. Akan tetapi, bukankah Rasulullah saw melarang kita untuk berpuasa terus menerus yang tiada terputus, sepanjang tahun?

Karena itu, puasa sunnah adalah jalan keluar yang paling baik. Ini dimaksudkan untuk memenuhi 'anjuran, Allah agar kita 'sering' berpuasa: "Dan berpuasa adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui" Sebagaimana difirmankan dalam QS. Al Baqarah (2):184.

Maka, seusai puasa Ramadhan kita dianjurkan untuk menyempurnakan puasa Ramadhan kita dengan puasa Syawal. Ini adalah salah satu upaya agar 'kemenangan' kita mengendalikan hawa nafsu tidak segera sirna, justru ketika kita baru saja meninggalkan bulan Ramadhan.

Kalau dilihat dari efektivitasnya, maka ada beberapa jenis puasa yang bisa dilakukan, mulai dari puasa Daud, puasa Senin Kamis, puasa tengah bulan, dan beberapa puasa, sunah lainnya di bulan Dzulhijjah, Rajab, Muharram, dan lain sebagainya. Intinya, berpuasa adalah lebih baik bagi kita, karena di dalamnya terkandung banyak manfaat.

Orang yang sering berpuasa akan selalu dalam kondisi terbaiknya. Sebab puasa adalah proses penyeimbangan kembali terhadap kondisi badan. Katakanlah seseorang yang berpuasa Daud. Bisa kita bayangkan kondisinya akan sangat terjaga, karena ia sehari puasa, dan sehari berikutnya tidak.

Jadi, kalau digambarkan, seseorang yang berpuasa Daud, ibaratnya sehari membebani badannya, dan sehari kemudian diseimbangkan kembali.

Telah kita bahas di depan bahwa orang yang tidak berpuasa ternyata justru sedang memberikan beban kepada tubuhnya. Apalagi kalau pola makan dan pola hidupnya jelek. Katakanlah, ketika sarapan ia makan berat, siangnya makan besar, dan malamnya makan banyak.

Maka, badannya bakal mengalami tekanan alias stress diakibatkan oleh pekerjaan mencema yang berlebihan. Sehingga, proses pembakaran (metabolisme) dan pembuangan sampah-sampahnya tidak bisa berjalan maksimal. Yang terjadi, justru, adalah penumpukan racun di dalam tubuhnya. Apalagi jika jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuhnya berlebihan serta tidak dalam komposisi yang baik.

Pada 'case' orang yang berpuasa Daud, maka 'beban' yang terjadi sehari sebelumnya itu akan dinetralkan pada sehari sesudahnya. Pada saat berpuasa, itulah ia akan menggelontorkan kembali racun-racun yang menumpuk di dalam badannya pada saat tidak berpuasa.

Jadi sungguh efektif sekali penyeimbangan yang terjadi pada orang yang melakukan puasa Daud. Dan itu bukan hanya pada problem lahiriyahnya saja, melainkan juga pada penyeimbangan kejiwaannya. Stress yang dia alami secara kejiwaan juga bakal mengalami 'pengendoran' saat ia berpuasa.

Kenapa demikian? Karena berpuasa bukanlah sekedar aktivitas badan, melainkan juga aktivitas batin. Seluruh sikap, batin kita mulai dari niat motivasi, semangat, kesabaran, keikhlasan, dan ketawakalan, sepenuhnya kita orientasikan kepada Allah semata. Ini adalah proses penyeimbangan jiwa yang sangat efektif.

Orang yang bisa berlaku demikian terus-menerus, bakal tidak pernah mengalami stress dalam skala yang serius. Paling banter cuma cemas. Dan cemas itu adalah kondisi yang justru dibutuhkan untuk membangun motivasi agar maju. Karena kecemasan adalah kondisi kejiwaan yang berkait dengan harapan untuk maju.

Efek Puasa Daud lebih baik lagi dari yang saya jelaskan di atas, karena sesungguhnya suasana puasa itu bakal mempengaruhi hari-hari kita secara berkelanjutan. Meskipun pada hari yang kita tidak sedang berpuasa, kita seakan-akan masih dalam suasana puasa seperti hari sebelumnya. Biasanya, pola makan dan pola hidup kita terbawa oleh suasana puasa. Yaitu, tidak terlalu berlebihan dan selalu terkontrol. Ini sungguh sangat baik dampaknya.

Namun, jika karena sesuatu hal kita tidak bisa berpuasa Daud, maka puasa Senin Kamis adalah pilihan yang baik. Jika pada puasa, Daud, kondisi badan kita selalu diseimbangkan secara kontinu dua hari sekali, maka pada puasa Senin Kamis, penyeimbangan itu teladi 3-4 hari sekali.

Selasa dan Rabu tidak puasa badan mengalami pembebanan, lantas dinetralkan kembali pada hari Kamis. Setelah itu, Jum'at, Sabtu, Minggu dibebani lagi, kemudian diseimbangkan pada hari Senin. Begitu seterusnya. Badan akan selalu diberi tenggang waktu untuk melakukan rehabilitasi secara alamiah terhadap, kondisi kesehatannya, lahir dan batin.

Ada juga yang menggabungkan puasa Senin Kamis ini dengan puasa tengah bulan yaitu tanggal 13,14 dan 15 setiap bulannya. Sehingga, jumlah hari puasa, di dalam satu bulan itu lebih banyak dibandingkan hanya dengan puasa Senin Kamis saja. Itu akan lebih baik dampaknya.

Jika karena sesuatu hal, Senin Kamis juga sulit untuk dilakukan, maka pilihan terhadap puasa 3 hari setiap bulan di tanggal 13, 14 dan 15 juga cukup baik. Setidak-tidaknya terjadi penyeimbangan rutin alias berkala dalam 1 bulan, selama 3 hari itu. Puasa 3 hari dalam sebulan itu pun sudah cukup efektif untuk memberikan jeda bagi aktivitas badan yang kadang terlalu berlebihan selama sebulan.

Dan yang lebih jarang lagi, adalah puasa pada hari-hari tertentu saja, misalnya pada bulan Muharram, dalam rangka menyambut tahun baru Islam. Atau menyambut datangnya hari raya haji pada bulan Dzulhijjah. Ataupun pada saat bulan Rajab dan Sya'ban untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dan kemudian di bulan Syawal, seusai puasa Ramadhan. Semua itu baik, karena pada prinsipnya memenuhi anjuran Allah bahwa ‘berpuasa’ itu sebenarnya lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui"


MAKAN KALAU LAPAR, BERHENTI SEBELUM KENYANG

Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya dalam hal makan tentang sebuah prinsip keseimbangan yang sangat indah. Beliau katakan : "makanlah kelau lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang"

Di dalam sabda beliau itu kita menangkap pelajaran yang sangat mendasar tentang pola makan dan pola hidup. Jika karena sesuatu hal, kita tidak sempat berpuasa, maka lakukanlah apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw di atas.

Pelajaran pertama yang terkandung dalam kalimat itu sebenamya adalah pemahaman tentang fungsi makan dalam kehidupan. Bahwa makan itu sebenamya adalah kebutuhan untuk hidup, bukannya hobi atau gaya hidup. Dengan kata lain, kita sering mendengar jargon ini Makanlah untuk hidup. Bukannya hidup untuk makan.

Ini perlu kita kemukakan, terutama di era modern ini karena fungsi makan telah bergeser dari fungsi sesungguhnya. Tadinya, makan dan minum itu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk mencukupi gizi dalam tubuh kita sehingga bisa melakukan aktivitas-aktivitas yang lebih produktif. Begitulah konsep Islam menempatkan fungsi makan dalam keseharian kehidupan kita.

Namun, kebanyakan kita justru menempatkan aktivitas makan itu sebagai kegiatan konsumtif. Bukannya untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat melainkan justru 'membuang' manfaat.

Coba kita perhatikan berapa banyaknya waktu dan energi terbuang untuk mengurusi makanan. Ketika seseorang menempatkan makan, sebagai aktivitas konsumtif, maka dia telah terjebak dalam pusaran aktivitas yang menyita banyak waktu dan energinya, sekadar untuk makan.

Dia memulainya dengan berpikir untuk makan enak hari ini. Sehari tiga kali. Setelah itu dia akan mencari tempat untuk makan yang dia anggap enak itu. Atau jika tidak mencari di rumah makan, dia harus menyiapkan beli bahan-bahan untuk memasak sendiri. Setelah itu, dia habiskan waktu untuk makan, karena ia tidak ingin melewatkan suasana makan yang memang telah dia idamkan kenikmatannya. Dan seterusnya, biasanya mereka tidak menyadari bahwa makanan yang dimasukkan ke dalam tubuh nya telah melewati takaran wajar.

Kalau hal demikian ini kemudian menjadi kebiasaan dan gaya hidupnya, maka ia telah terjebak pada pola makan yang tidak baik. Jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuhnya terlalu berlebihan, komposisinya tidak bagus, ritme pencemaan terlalu berat membebani fungsi tubuh. Yang terjadi selanjutnya adalah ketidakseimbangan yang berujung pada kondisi sakit setelah sekian tahun kemudian.

Disini sekali lagi kita mengeluarkan energi tambahan untuk mengeluarkan biaya pengobatan dan waktu yang tidak sedikit untuk mengurusi efek makan yang tidak baik polanya. Apalagi, jika sakit itu menjadi kronis. Kita mesti bolak balik masuk rumah sakit atau ke dokter keluarga. Betapa banyak energi dan waku terbuang hanya untuk megurusi makan dan akibat daripada pola makan yang tidak baik itu.

Rasulullah saw mengajari agar kita tidak terjebak pada pola makan yang konsumtif, melainkan pola makan yang produktif. Makan bukan untuk hobi atau pun gaya hidup, melainkan untuk mendukung aktifitas kerja dan produktifitas tinggi.

Pola makan produktif itu hanya bisa terjadi jika sejak dari niat atau motivasiya sudah benar. Yaitu, bahwa makan bukan diposisikan sebagai tujuan melainkan sekadar fasilitas atau bahkan cara mencapai tujuan. Namun demikian, bukan berarti kita tidak menikmati makanan dan suasana makan itu sendiri. Yang perlu ditekankan di sini adalah persepsi yang 'proporsional dan jernih' dalam menyikapi 'kenikmatan' yang seringkali menjebak kita masuk ke dalam penderitaan itu ... !

Ingat, 61 persen penduduk AS mengalami berbagai macam penyakit yang terkait dengan kelebihan makanan. Dan sekitar 300 ribu orang meninggal setiap tahunnya dikarenakan komplikasi penyakit penyakit yang berkait dengan kelebihan makanan tersebut..!

Pelajaran kedua, hariits tersebut mengajarkan kepada kita agar memahami dan menyadari kondisi tubuh kita sendiri. Bahwa tubuh kita ini sudah memiliki alarm yang sangat canggih, sebagaimana telah kita bahas di depan. Jika kondisi tubuh mengalami penurunan tertentu, maka ia akan 'membunyikan alarmnya'. Termasuk ketika kita kekurangan gizi dalam tubuh, maka badan akan membunyikan 'alarm' lapar.

Di sini Rasulullah saw mengajari kita bahwa makan yang baik adalah ketika badan telah membutuhkan. Jadi ukurannya adalah 'kebutuhan' bukan keinginan. Sebab kalau sekedar keinginan kita bakal terjebak pada hawa nafsu yang tidak pernah ada batasnya. Hawa nafsu mendorong kita menuju pada kehancuran dan penderitaan. Sedangkan pemenuhan 'kebutuhan' bakal membawa kita pada keseimbangan yang bersifat alamiah.

Pelajaran ketiga, Rasulullah menganjurkan agar kita berhenti makan sebelum kenyang. Disini sekali lagi beliau mengajari kita untuk memperhatikan ‘alarm’ tubuh.

Meskipun masih ingin makan, kalau perut sudah terasa kenyang, hentikanlah. Sebab jika 'alarm kenyang' ini tidak kita gubris akibatnya bisa membahayakan kesehatan kita sendiri.

Efeknya sama dengan yang telah kita bahas di depan, mulai dari tidak efisien dan tidak efektifnya pencemaan, lantas diikuti dengan metabolisme yang tidak sempuma, sampai akhimya terjadi penumpukan zat-zat racun di seluruh jaringan dalam tubuh.

Kekenyangan juga berakibat pada tidak efisiennya proses berpikir. Kecenderunganya adalah ngantuk dan tidak produktif. Islam, sekali lagi, mengajak kita untuk berperilaku produktif.

Dalam konteks itulah, ngobrol ngalor ngidul dilarang oleh Allah. Ngerasani alias membicarakan kejelekan orang juga tidak boleh. Bermalas-malasan, apalagi! Kita mesti kerja keras untuk menuju progresivitas yang tinggi menuju kepada Allah. Sebab Allah adalah Dzat yang Maha Tinggi.

Kita harus menuntut ilmu sebanyak-banyaknya karena Allah adalah Dzat yang Maha Berilmu. Kita juga harus menjadi orang-orang yang semakin bijak, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Bijaksana. Kita mesti menjadi orang yang semakin mencintai dan Mengasihi, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi.

Dan seterusnya, Allah menghendaki kualitas kita sebagai manusia terus meningkat menuju pada kesempurnaan hidup. Karena kita memang bakal kembali kepada Allah Yang Maha Sempuma ...

Dalam konteks inilah Rasulullah saw menghendaki agar umatnya bisa merasakan gerak alamiah yang terjadi di dalam tubuhnya maupun di lingkungan sekitarnya. Karena di dalam mekanisme alamiah itu terdapat kunci keseimbangan, kesehatan, dan keberhasilan hidup ...

QS Al Infithar (82) : 7
“Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang,”

QS. Al Mulk (67) : 3
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis kamu sekali kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak saimbang. Maka lihatlah berulang-ulang adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?


UNTUK APA BERPUASA

Nah, maka untuk apakah kita berpuasa? Saya kira para pembaca sudah bisa mengambil kesimpulan sendiri dalam diskusi kita kali ini.

Secara umum, saya ingin menggarisbawahi bahwa kehidupan manusia modem termasuk di Indonesia tenyata telah menyeret manusia pada suatu situasi dan kondisi yang runyam. Aktivitas kita dalam segala bentuknya menjurus pada ketidakseimbangan yang semakin rumit. Baik secara individual, sosial maupun spiritual.

Begitu banyak penyakit individu yang bersifat fisik maupun kejiwaan dan moral yang diderita oleh manusia modern. Di Indonesia sendiri jumlahnya semakin tahun semakin besar. Meningkatnya peredaran berbagai jenis obat obatan yang dijual umum, mulai dari obat sakit fisik sampai kepada obat penenang yang disalahgunakan, menunjukkan gejala yang semakin meluas.

Demikian pula, penyakit penyakit sosial telah merusak dimana mana sebagai dampak dari kehidupan yang semakin individual dan liberal. Krisis bangsa ini, penyebab utamanya adalah penyakit moral yang sudah sangat akut dan kronis! Maka korbannya begitu besar. Bukan hanya mereka yang melakukan, tetapi juga mengenai orang orang yang tidak ikut melakukan. Bahkan generasi mendatang.

Maka, kini semakin banyak orang mencari 'pelarian' untuk menenangkan batin atas segala problematika hidupnya. Itu terlihat dari menjamurnya tempat-tempat hiburan sampai pada kegiatan-kegiatan meditasi. Manusia modern berada dalam situasi kritis, terjebak oleh konsep-konsep artifisial yang mereka buat sendiri. Mereka ingin hidup serba instan, yang kemudian justru membawanya kepada problem yang rumit dan sulit dipecahkan.

Lantas apakah solusinya? Jawabnya cuma satu Puasa /lbadah ini telah didesain oleh Sang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana untuk mengantisipasi problem masyarakat modern. Menyelesaikan secara individual, sosial, dan spiritual sekaligus. Jadi, jangan tunda lagi untuk segera mengambil solusi ini. Insya Allah DIA meridhai...
Selamat menjalankan lbadah Puasa ... !

Wassalam................




=====

Puasaku
Hanya Engkau yang tahu

Bahkan
Akupun tak begitu tahu
Apakah aku sedang berpuasa
Atau sekedar lapar dan dahaga belaka

Aku Cuma ingin belajar
Mengikhlaskan seluruh perbuatanku
Hanya untuk-Mu

Meskipun kalimat itu terasa lucu
Karena Engkau memang tak butuh sesuatu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar